Langsung ke konten utama

Fan(s)atisme -only Reflection-


"Pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat" -Patrick Star dalam serial Spongebob Squarepants-

Kata - kata ini berkali - kali terngiang - ngiang dalam pikiran admin ketika melihat beberapa fanpage di beberapa jejaring sosial atau forum - forum. Kita semua tahu, akhir - akhir ini banyak sekali selebritis/artis yang lagi booming - boomingnya, gencar sekali mempromosikan diri mereka di tengah - tengah masyarakat. Tak jarang juga ada beberapa penggemarnya yang membuat komunitas - komunitas fans, dalam bentuk nyata ataupun maya. Dan juga tidak jarang, orang - orang yang antipati dengan mereka juga membuat komunitas yang bersifat membenci.


Artikel ini mungkin bisa jadi bahan pemikiran buat agan - agan semua. Ini merupakan pengalaman pribadi (katakanlah) seorang yang pernah mengidolakan idolanya. Kita memang tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, namun semoga dapat menjadi refleksi buat kita semua.



“I’ve lost the sparks.”

Itulah yang saya cetuskan ketika sedang duduk sambil ngobrol santai dengan Mbak ini di sebuah restoran Jepang. Waktu itu, kami sedang membahas Fan Page dan komentar-komentar di dalamnya.

Sebagai salah satu administrator Fan Page, saya membukaaccount tersebut minimal dua kali sehari. Lebih sering dari minum obat. Jika dibandingkan dengan total anggota yang sudah mencapai belasan ribu, jumlah komentar yang masuk ke Fan Page setiap hari memang tidak sampai satu persennya, namun bukan jumlah komentator juga yang membuat saya bengong jaya, melainkan isi komentarnya.

Tidak sedikit penggemar yang bisa dimasukkan dalam kategorihardcore dari caranya memuji-muji, keinginan menggebu untuk bertemu, apresiasi pribadi terhadap Mbak ini, dan sebagainya. Sedikit banyak, membaca komentar-komentar mereka membuat saya merenung dan berpikir, dulu saya kayak gitu nggak, ya? Bukan bermaksud membanding-bandingkan, hanya saja, saya pernah merasakan kekaguman yang serupa, jauh sebelum berkenalan dengannya.

Saya jatuh cinta dengan karya-karya beliau sejak Filosofi Kopi terbit. Kekaguman itu semakin bertambah ketika saya menemukan blog-nya, meski saya tidak paham isinya. Yang ada di pikiran saya waktu itu hanya, “Keren bener bisa merangkai kata kayak gini.” Jadilah saya penggemar setia yang tidak pernah melewatkan satu pun entrinya dan sesekali memberanikan diri berkomentar… supaya eksis di memorinya. Siapa tahu, dengan rajin berkomentar, lama kelamaan ia akan hafal nama saya. Gunanya? Nggak ada, sih – namanya juga ngefans, harap maklum. :-)

Layaknya fans pada umumnya, saya sering sekali berkhayal, seandainya saja saya bisa bertemu langsung dengannya. Di luar kota pun akan saya bela-belain, demi bertatap muka dengan idola. Sayangnya, saat itu ia sedang vakum meluncurkan buku, sehingga acara-acara seperti bedah buku –yang memungkinkan penggemar berjumpa langsung dengan penulis—tidak ada sama sekali. Atau, kalaupun ada, informasinya tidak sampai ke telinga saya.

Ketika akhirnya kami bertemu langsung —di rumahnya pula— jangan ditanya bagaimana rasanya. Badan gemetar, telapak tangan berkeringat dingin, dan saya tidak bisa duduk rileks. Malam itu saya bergulingan di kasur tanpa bisa tidur, dan esok paginya terbangun dengan pertanyaan, yang kemarin itu mimpi bukan ya? Saya memeriksa ponsel untuk memastikan nomor beliau tersimpan di sana, sebagai bukti bahwa saya tidak bermimpi.

Beberapa hari kemudian, melampaui mimpi ketiban duren, kejatuhan bulan dan segala perlambang rezeki lainnya, saya mendapat kabar bahwa beliau berniat merekrut saya menjadi asisten pribadi. Lagi-lagi saya tidak bisa tidur saking senangnya. Saya menunda sekian hari untuk mengabarkannya kepada keluarga, for the sake of… jaga-jaga aja, siapa tahu kali ini beneran cuma mimpi. Ternyata saya tidak bermimpi, dan keluarga saya menyambut kabar bahagia tersebut dengan kendurian tujuh hari tujuh malam.

*You don’t seriously believe that, do you?*

Teman-teman saya yang mengetahui perekrutan tersebut mengulang pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: “Gimana caranya lo bisa kerja sama dia?”, “Ketemu di mana?”, “Sejak kapan kenalnya?” dan sebagainya, dengan nada kagum plus penasaran. Dan saya selalu memberi jawaban yang sama, diawali dengan kalimat, “Ceritanya, gue kan ngefans banget…”.

Yes, I considered myself a very lucky girl.

Sepuluh bulan sudah berlalu sejak perjumpaan pertama saya dengannya. Hari itu, dalam obrolan remeh mengenai Fan Page, ingatan demi ingatan kembali berkilasan di benak saya. Hanya saja, kali ini, saya merasa ada yang ‘kurang’.

Saya masih menggemari karya-karya beliau, namun kekaguman terhadap penulis sekaligus penyanyi favorit saya itu lenyap sudah. Saya mencoba menggali ingatan, sejak kapan, kok bisa, dan sebagainya, tapi saya tidak berhasil menemukan jawaban.

Saya pun menduga-duga: apakah karena kami terlalu sering bertemu? Perjumpaan fisik memang tidak setiap hari, bahkan kadang tidak seminggu sekali, tapi komunikasi melalui e-mail dan SMS kami lakukan setiap hari. Apakah itu yang membuat saya ‘mati rasa’?

Apakah percikan itu hilang karena akses yang ada memungkinkan saya untuk mengenal beliau dengan lebih mendalam, dan saya menemukan begitu banyak hal biasa dari sosok yang pernah saya anggap luar biasa?

Apakah kedekatan bisa memapas rasa kagum? Apakah percikan itu hilang karena saya mengetahui seorang Dewi Lestari ternyata begini dan begitu, atau tidak begini dan tidak begitu?

Apakah kekaguman itu hilang karena saya lebih sering numpang makan dan numpang mandi melihatnya di rumah, bersantai dengan pakaian seadanya dan wajah polos, ketimbang berdiri di atas panggung denganmake-up tebal dan gaun berkilauan?

Entahlah. Mungkin iya. Yang pasti, percikan itu lenyap entah kemana.

Di satu sisi, saya bersyukur. Somehow, saya justru merasa lebih jernih dalam berelasi dan bekerja ketika saya tidak lagi menganggap beliau sebagai sosok panutan. Pun ketika saya berada seruangan dengannya dimana ‘peran’ yang saya jalankan bukan lagi sebagai bawahan, melainkan ‘sesama’ – contohnya ketika kami sama-sama menjadi peserta meditasi mingguan.

Dulu, saya selalu ragu bersuara dalam sesi-sesi diskusi, karena saya berpikir, “Duh, kalo gue bilang gini, ntar apa pendapatnya, ya? Salah nggak, ya? Konyol nggak, ya?”.

Dulu, saya sering sekali sungkan menyampaikan pendapat, apalagi yang berseberangan dengan pendapatnya, karena saya berpikir, “Siapalah gue? Yang ada juga dia yang bener, gue yang salah” – bukan karena beliau atasan saya, namun karena saya merasa kecil bila dibandingkan dengan idola saya.

Dulu, saya selalu berhati-hati melontarkan lelucon, bukan karena takut menyinggung dirinya, melainkan karena saya tidak mau dianggap aneh olehnya.

Sekarang? Bablas rek. Jangankan beda pendapat, berselisih aja sudah lebih dari sekali. :-)

Lepas dari itu semua, saya bersyukur bahwa pudarnya percikan itu justru membuat saya bisa melihat sosoknya dengan lebih natural. Seiring dengan lunturnya citra demi citra yang terkonstruksi di benak saya tentang ‘Dee sebagai penulis favorit’ dan ‘Dewi Lestari sebagai penyanyi idola’, saya menemukan banyak pelajaran, baik dari keberadaannya sebagai orang biasa maupun dari relasi kami sebagai atasan dan bawahan. Terkadang, saya melihat beliau bukan lagi sebagai atasan belaka, melainkan teman yang bisa diajak bercanda konyol dan bertukar cerita-cerita remeh. Ketika citra ‘idola-penggemar’ mulai tersingkir, yang tersisa adalah sebentuk relasi yang terasa nyata dan apa adanya. Bisa menyenangkan, bisa menjengkelkan, bisa membuat tertawa terpingkal-pingkal, bisa juga membuat sebal.

*Sebal? Emang pernah? Ya pernah, lah. Namanya juga berhubungan dengan sesama manusia.*

Seiring berjalannya waktu, saya mulai mampu mengintip berbagai ruang di hati dan menelusuri lebih jauh: mengapa saya merasa begitu membutuhkan kehadiran seseorang yang lebih tinggi, lebih hebat dan lebih segala-galanya untuk dijadikan panutan, daripada melihat ke dalam diri dan mempercayai kemampuan saya sendiri? Mengapa saya selalu merasa perlu ‘mengikuti’ seseorang daripada berjalan dengan tuntunan kaki sendiri? Mengapa saya merasa ada yang kurang jika saya tidak punya figur idola yang bisa saya puja-puji?

Everyone needs someone to look up to, kata Tante Whitney. Kalimat itu telah saya jadikan pembelaan, namun saya merasa ada yang kurang pas dengan justifikasi parsial itu. Benarkah saya selalu membutuhkan sosok panutan sebagai penerang jalan dalam hidup ini?

*HALAH*

Saya belajar banyak.

Tidak ada yang salah dengan menjadikan seseorang sebagai idola, apalagi jika yang bersangkutan memang punya seribu satu kualifikasi untuk menjunjung predikat tersebut. Tidak ada yang salah juga dengan mengagumi orang lain dan bertekad ingin menjadi seperti dia. Hanya saja, dalam proses tersebut, terkadang kita lupa, bahwa citra yang terbentuk di pikiran kita seringkali tidak sama dengan realita yang sesungguhnya.

Yang sering terjadi adalah, ketika kita mengidolakan seseorang, benak kita dengan kreatifnya menyusun begitu banyak persepsi –bahkan definisi— tentang sosok yang kita kagumi, berdasarkan informasi sepotong-sepotong yang kita kumpulkan dari mana-mana – majalah, televisi, cerita orang, pertemuan langsung yang hanya sekian menit, dan sebagainya. Faktanya, jangankan yang mengidolakan, orang yang tidak mengidolakan saja bisa punya begitu banyak persepsi yang belum tentu sejalan dengan kenyataan.

Kejernihan yang terdistorsi ini lantas membuat kita memiliki penilaian yang kurang akurat. Tidak heran kita begitu mudah ‘disesatkan’. Tidak heran kita begitu mudah menjatuhkan penghakiman atas orang yang tidak kita kenal secara pribadi, hanya dengan menontoninya di televisi atau membaca beritanya di tabloid. Tidak heran kita begitu mudah terpancing dengan berbagai pemberitaan dan isu seputar kehidupan si idola, yang sebenarnya bukan urusan kita. Yang lebih ekstrim lagi, tidak jarang kita merasa ‘memiliki hak’ atas idola yang bersangkutan, karena kita telah ‘menginvestasikan’ begitu banyak perhatian dan rasa kagum atas figurnya. Ingat kasus Aa’ Gym? :-)

Tidak ada yang salah juga dengan berharap bisa bertemu idola, berdekatan dengannya, menjalin pertemanan, bahkan, kalau bisa, menyebutnya sahabat. Trust me, been there done that. Hanya saja, harapan-harapan ini dapat menyedot begitu banyak energi tanpa kita sadari, sekaligus menciptakan beragam ilusi dan mimpi yang tak kalah dahsyat dari Indonesia menang Piala Dunia. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan itu semua, dan tidak ada yang salah dengan meyakini Persija bisa mengalahkan Manchester United, namun sungguhkah kita ingin hidup dalam ilusi?

Ada kalanya pula, kita mendapatkan rasa ‘aman’ dengan ‘berlindung’ di balik sosok yang dipuja, dan menganggap perspektif kita tentang dirinya adalah gambaran yang sudah pasti benar. Tanpa sadar, kita menabung begitu banyak ekspektasi dalam diri seseorang yang tidak kita kenal secara langsung. Orang-orang yang hanya kita lihat di televisi, kita dengar suaranya, kita baca tulisannya. Kita menerjemahkan kekaguman tersebut dengan pemahaman kita sendiri, ke dalam bahasa kita sendiri, dan menganggapnya sah. Tidak heran kita begitu mudah kecewa ketika mendapati sosok idola kita ternyata tidak sesuai dengan gambaran ideal itu, atau memunculkan reaksi berlebihan ketika sang idola berbuat sesuatu yang sebetulnya amat wajar dan biasa dilakukan semua orang.

Atau, pernah dengar yang seperti ini: bertengkar dengan orang lain karena tidak terima idola kita dijelek-jelekkan? Kekeuh jumekeuh berdebat sampai mulut berbusa demi membela idola? Menjadikan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan idola sebagai patokan standar tingkah laku dan perkataan – bahkan menjadikannya prinsip hidup? Menghabiskan tabungan untuk memburu idola ke ujung dunia, lalu pingsan ketika melihatnya? Yang terakhir ini dialami oleh teman dari kenalan saya, yang bela-belain nonton konser Michael Jackson di luar negeri dan langsung pingsan begitu melihat MJ muncul (bahkan nggak sempat nonton!) . :-D

Itulah yang saya sebut fan(s)atisme.

Nggak bisa tidur setelah bertemu idola di mal, memaksa anak berfoto dengan idola padahal anaknya nggak mau, ngebet ingin berjumpa sampai kebawa mimpi tiga hari tiga malam, dan memuja-muji idola sesering mungkin dimana pun ada kesempatan juga berpotensi bagus untuk berkembang menjadi fan(s)atisme. Hehehe.

I’ve lost the sparks. Dan itu pula yang saya katakan dengan terus terang. Setelah mengucapkannya, saya menatapnya dengan deg-degan sambil membatin, kelar deh kerjaan gue abis ini.

Otak saya membantah, lo nggak bilang juga dia nggak tahu. Toh, nggak penting juga. Lo jujur atau nggak, nggak bakal ngaruh. Saya tidak tahu apakah saya melakukan hal yang benar, namun entah bagaimana, saya merasa dia berhak tahu.

Ternyata, reaksinya di luar dugaan.

“Baguslah,” ucapnya ringan, kemudian melanjutkan makan dengan santai.

Saya nyengir sendiri, lalu mereguk ocha yang mulai dingin. Belakangan saya tahu, ia sependapat bahwa tiadanya percikan justru menyehatkan relasi yang kami jalani, dengan segala dinamikanya.

:-)

Ada yang bilang, percikan adalah sesuatu yang harus terus dijaga, dipelihara, bahkan dikobarkan, karena ‘api’ membuat kita ‘menyala’ – hidup, bertenaga dan penuh semangat. Memiliki idola memang bisa memberi berbagai manfaat positif, seperti memacu kita untuk meraih impian, berusaha memiliki kehidupan yang lebih baik, dan banyak lagi. Namun, bagi saya, yang terpenting bukanlah berupaya mempertahankan percikan tersebut, karena seperti air, nafas, dan segala bentuk energi lain, api merupakan energi yang punya siklus masuk dan keluar. Bisa surut dan membuncah, bisa redup dan berkobar.

Mungkin –hanya mungkin— ada baiknya percikan itu sesekali padam. Barangkali, ada baiknya api itu tak senantiasa berpijar. Tanpa ‘pendar-pendar api’, kita akan mampu melihat dengan jelas sosok yang berada di baliknya, yang selama ini tertutup oleh sinar menyilaukan. Ketika kita dapat melihatnya, barangkali kita juga bisa memperoleh kesempatan untuk mengintip lebih jauh ke dalam kamar hati dan menyadari beragam isi yang tersimpan di sana.




***

Pemujaan yang berlebihan memang tidak sehat, tapi jangan lupa rasa benci yang berlebihan juga tidak kalah sakitnya. Mungkin lain waktu admin akan paparkan tentang para antis dan kisah - kisah mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#CatatanCakrawala - Sebuah Perjalanan Tak Terduga di Hulu Kabupaten Kapuas #Masuparia

Desa Masuparia Masupa Ria, adalah salah satu Desa yang berada di hulu Kapuas, tepatnya di hulu Sungai Mendaun anak Sungai Kapuas. Sekedar Informasi Desa terujung di Sungai Kapuas adalah Tumbang Bukoi, dan Desa yang berada di Muara Sungai Kapuas adalah Desa Batanjung. Keduanya berada di Kabupaten Kapuas, kabupaten yang wilayahnya memanjang dari hilir sampai ke hulu Kapuas. Tapi bukan Kapuas di Pontianak, tetapi di Kalimantan Tengah (biar ga typo hehe). Desa ini juga berada di daerah perbukitan yang merupakan jajaran Pegunungan Schwaner dan Muller, sehingga Masupa Ria juga termasuk dalam Jantung Kalimantan (Heart of Borneo). Di daerah ini juga terdapat areal pedulangan emas yang materialnya diambil dari kaki Gunung Puti/Masupa. Di tempat ini juga terdapat 3 Air Terjun dengan tinggi sekitar 100 meter.

#CatatanCakrawala - Monumen Tambun Bungai #Throwback #ExploreGunungMas

Monumen Tambun Bungai Monumen Tambun Bungai, merupakan satu dari benda cagar budaya bersejarah yang ada di Kabupaten Gunung Mas, sekaligus juga salah satu destinasi Wisata Budaya yang memiliki daya tarik tersendiri. Tambun Bungai, ini diambil dari nama dua orang tokoh legenda Suku Dayak, yakni Tambun dan Bungai. Legenda dan cerita rakyat Tambun Bungai sangat dikenal masyarakat setempat sebagai asal usul manusia di bumi Kalimantan Tengah. Tambun Bungai menjadi ikon Kalimantan Tengah, yakni Bumi Tambun Bungai, dan diambil sebagai nama jalan di beberapa kota di Kalimantan Tengah. Oke, sekarang kita akan mencoba melakukan perjalanan kembali ke "akar"

#CatatanCakrawala - Panorama Pasir Putih, Air Terjun Bumbun dan Tugu Equator Tumbang Olong #ExploreMurungRaya

Bukit Pasir Putih, mungkin juga disebut Bukit Tengkorak, adalah salah satu bukit yang cukup tinggi di jalur HPH yang menghubungkan daerah Uut Murung dan Muara Bumban. Ketinggiannya hampir mencapai >200an mdpl, tidak jauh dari situ terdapat Air Terjun Bumbun berketinggian sekitar 80 meter dan Desa Tumbang Olong yang merupakan ibukota Kecamatan Uut Murung. Di sanalah terdapat Tugu Khatulistiwa karena letaknya tepat di atas garis Khatulistiwa, dengan kata lain tempat tersebut jika diambil garis lurus maka sejajar dengan Kota Pontianak di Kalimantan Barat.  Titik kulminasi yaitu saat Matahari berada di atas garis Khatulistiwa (sekitar tanggal  21-23 Maret dan 21-23 September), juga terjadi di Tugu Equator Tumbang Olong ini, walaupun mungkin berbeda jam dengan Tugu yang di Pontianak. Pada saat itu bayangan kita akan tidak terlihat selama beberapa detik, karena Matahari akan berada tepat di atas kepala kita. Jarak tempuh menuju Kecamatan Uut Murung ini cukup jauh, sekitar 120 km,